Nilai tambah dari pengolahan, seperti feronikel atau komponen baterai, dinikmati oleh negara lain seperti China dan Jepang. Bauksit dan tembaga hampir sepenuhnya diekspor dalam bentuk mentah, tanpa pengolahan signifikan.
Hal ini membuat Indonesia kehilangan potensi ekonomi dan lapangan kerja, sementara daerah penghasil komoditas tersebut, seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku, tetap miskin.
Ketimpangan ini diperparah oleh rendahnya nilai investasi di sektor industri. Indonesia dengan cadangan sumberdaya alam yang melimpah, dari nikel hingga batubara, telah lama bergantung pada ekspor bahan mentah.
Kebijakan hilirisasi Presiden Joko Widodo dinilai merupakan langkah sangat berani. Kebijakan ini diawali dengan larangan ekspor biji nikel mentah pada Januari 2020, yang disusul larangan ekspor bauksit dan beberapa komoditas lainnya, secara efektif mulai diterapkan Juni 2023.
Jokowi melihat, tanpa hilirisasi, Indonesia akan terus terjebak dalam peran sebagai pemasok bahan mentah, jauh dari visi menjadi negara industri maju.
Era kepemimpinan Jokowi, hilirisasi tidak hanya menjadi instrumen ekonomi, melainkan juga sebagai instrument geopolitik Indonesia di kancah internasional.
Dengan memaksa perubahan kebijakan dari praktik gaya lama, yang hanya mengekspor bahan mentah, Indonesia berupaya menempatkan posisi yang lebih kuat dalam rantai pasok global, sekaligus meningkatkan nilai tambah nasional.
Smelter hadir sebagai simbol konkret dari transformasi tersebut. Jika sebelumnya bijih nikel, timah, bauksit, atau tembaga dikirim keluar negeri dalam bentuk mentah, kini Indonesia mendorong pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan di dalam negeri.
Perubahan paradigma ini menjadikan posisi Indonesia tidak sekadar sebagai penyuplai bahan baku, melainkan produsen setengah jadi bahkan siap pakai untuk industri strategis global.
Selain itu, smelter menciptakan banyak lapangan kerja, dan memicu transfer teknologi, serta menumbuhkan beberapa kawasan industri baru di berbagai daerah.
Kebijakan hilirisasi sumberdaya alam yang diimplementasikan dengan pembangunan smelter telah membentuk ekosistem industri yang lebih kokoh dan memperluas basis ekonomi nasional.
Transformasi ini sekaligus mempertegas tekad Indonesia keluar dari jebakan negara berkembang yang bergantung sepenuhnya pada ekspor komoditas primer.
Transformasi besar yang ditempuh Indonesia tentu tidak berlangsung dalam ruang hampa. Dunia saat ini sedang bergerak cepat menuju era transisi energi dan digitalisasi industri, yang secara langsung mengerek permintaan atas mineral kritis.
Beberapa jenis mineral seperti nikel, tembaga, kobalt, dan bauksit menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, panel surya, kabel listrik dengan daya tinggi, hingga komponen berbagai perangkat elektronik.
Permintaan global yang kian melonjak ini secara otomatis menjadikan Indonesia, negara dengan cadangan mineral sangat melimpah, sebagai salah satu pusat perhatian dunia.
Namun, meningkatnya peran Indonesia juga berarti meningkatkan pula tantangan global yang harus dihadapi.
Pertama, dari sisi hukum perdagangan internasional, larangan ekspor bahan mentah, seperti nikel dan bauksit, memunculkan gugatan dari Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Gugatan ini mencerminkan benturan kepentingan antara negara maju yang ingin menjaga akses terhadap bahan mentah murah, dengan negara berkembang yang berusaha memperoleh nilai tambah dari sumber dayanya.
Bagi Indonesia, tantangan ini adalah ujian sekaligus peluang untuk menguji konsistensi strategi hilirisasi di tengah tekanan internasional.
Kedua, persaingan ketat dengan negara produsen lain. Filipina menjadi penantang utama dalam ekspor nikel, sementara Guinea dan Australia berusaha mempertahankan dominasi dalam bauksit dan alumina. Selain itu, Chile dan Peru juga memiliki kendali besar dalam pasokan tembaga global.
Dengan latar belakang ini, Indonesia harus memastikan bahwa hilirisasi tidak hanya menambah jumlah smelter, tetapi juga meningkatkan kualitas pengolahan agar mampu bersaing dengan produk serupa dari negara lain.
Ketiga, risiko geopolitik. Posisi Indonesia sebagai pemasok mineral kritis menempatkannya di tengah pusaran rivalitas antara Amerika Serikat dan China.
Kedua kekuatan besar ini sama-sama membutuhkan bahan baku strategis untuk industri berteknologi tinggi mereka. Indonesia harus mampu menavigasi posisi ini dengan cermat agar tidak terjebak dalam polarisasi geopolitik, melainkan memanfaatkannya untuk memperkuat posisi tawar nasional.
Keempat, tantangan domestik yang dipantulkan ke arena global: ketersediaan energi untuk mengoperasikan smelter, isu lingkungan terkait penggunaan batubara, serta keterbatasan tenaga kerja terampil.
Isu-isu ini kerap dimanfaatkan oleh pihak luar untuk mengkritik kebijakan hilirisasi Indonesia. Oleh karena itu, strategi komunikasi dan diplomasi ekonomi menjadi sama pentingnya dengan pembangunan fisik smelter itu sendiri.
Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan hilirisasi bukan sekadar agenda ekonomi domestik, melainkan juga bagian dari strategi Indonesia untuk menegosiasikan ulang posisinya dalam peta ekonomi global.
Pembangunan smelter berskala besar membutuhkan modal yang sangat besar, teknologi canggih, dan kepastian pasar jangka panjang. Sejak awal, pemerintah Indonesia menyadari bahwa hilirisasi tidak bisa ditopang hanya oleh modal domestik.
Karena itu, masuknya investasi asing memainkan peran penting dalam mempercepat pembangunan smelter di berbagai daerah. Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, misalnya, kawasan industri Morowali dan Konawe tumbuh menjadi pusat pengolahan nikel.
Sedangkan di Maluku Utara, Weda Bay Industrial Park berkembang menjadi salah satu klaster hilirisasi terbesar dunia. Sementara itu, di Jawa Timur, kawasan industri JIIPE Gresik menjadi rumah bagi smelter tembaga Freeport, salah satu yang terbesar secara kapasitas tunggal di dunia.
Meski demikian, investasi besar ini juga membawa konsekuensi. Kritik mengenai dampak lingkungan, penggunaan energi berbasis batubara, serta keterlibatan tenaga kerja asing menjadi isu yang tak terhindarkan.
Beberapa kalangan menyoroti potensi paradoks: di satu sisi smelter mendukung transisi energi global melalui penyediaan bahan baku kendaraan listrik, di sisi lain proses produksinya masih bergantung pada energi fosil.
Untuk menjawab kritik ini, pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan di kawasan industri, meskipun jalannya tidak selalu mulus. Selain itu, kebijakan mengenai tenaga kerja asing diperketat agar transfer teknologi benar-benar terjadi. (*)
Kata Kunci : Kebijakan hilirisasi Presiden Joko Widodo dinilai merupakan langkah sangat berani. Kebijakan ini diawali dengan larangan ekspor biji nikel mentah pada Januari 2020, yang disusul larangan ekspor bauksi
10 Jul 2025, 19:17 WIB
03 Jul 2025, 14:31 WIB
Teknologi
30 Mei 2025, 0:30 WIB
Internasional
24 Feb 2025, 0:22 WIB
Liputan Khusus
13 Jan 2025, 15:49 WIB
Minyak dan Gas
12 Jan 2025, 23:31 WIB
Nasional
10 Jan 2025, 19:16 WIB
Ulasan
18 Des 2024, 13:38 WIB
Energi
18 Des 2024, 10:16 WIB
Internasional
16 Des 2024, 12:58 WIB
Nasional
13 Des 2024, 10:28 WIB
Lingkungan
12 Des 2024, 10:49 WIB
Energi
11 Des 2024, 11:12 WIB
Nasional
09 Des 2024, 13:08 WIB
Energi
05 Des 2024, 10:41 WIB
Nasional
04 Des 2024, 10:54 WIB
Nasional
03 Des 2024, 12:23 WIB
Internasional
02 Des 2024, 13:56 WIB
Nasional
26 Nov 2024, 10:29 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 13:23 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 10:11 WIB
Energi
21 Nov 2024, 10:24 WIB