Sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia telah memulai kebijakan hilirisasi nikel sejak 2020 dengan memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah. Tujuannya bukan hanya meningkatkan nilai tambah, namun juga mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan menjaga posisi strategis Indonesia di pasar global.
Hilirisasi nikel yang berkelanjutan akan memastikan bahwa Indonesia tidak lagi hanya bergantung pada ekspor bahan mentah, melainkan mampu menghasilkan produk-produk bernilai tinggi. Upaya ini ditunjukkan dengan industri smelter di Indonesia terus berkembang pesat.
Eddy Soeparno selaku Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran serta Wakil Ketua Komisi Energi DPR menjelaskan bahwa 42% atau sekitar 55 juta ton dari 130 juta ton cadangan nikel dunia berada di Indonesa.
“Hilirisasi nikel secara berkelanjutan jadi salah satu fokus utama mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Tantangannya bagaimana memastikan pemerintah Indonesia ke depannya melaksanakan hilirisasi nikel secara berkelanjutan,” ungkap Eddy dalam keterangan tertulis pada Senin (30/09/2024), dikutip dari antaranews.com.
Indonesia sendiri mendapatkan Rp 106,59 dari ekspor nikel pada tahun 2023. Hal ini didapatkan dari pasokan nikel Indonesia yang memenuhi kebutuhan pasar global sebesar 55% pada tahun lalu.
Berdasarkan hasil riset dari Katadata Insight Center (KIC), dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang, pasokan nikel yang berasal dari Indonesia akan terus mendominasi dan meningkat. Pada tahun 2024 diprediksi Indonesia akan mampu memasok 64% kebutuhan nikel global.
Eddy menambahkan, hilirisasi yang dilakukan bukan hanya strategi pemerintah untuk mengingkatkan nilai tambah bahan mineral, namun juga menjadi penggerak dalam upaya Indonesia melakukan transisi energi dengan kendaraan listrik.
Meski begitu, tantangan terbesar Indonesia dalam hal ini ialah memastikan semua proses hilirisasi yang dilakukan, terutama nikel, tidak hanya berfokus pada aspek-aspek ekonomi saja, namun perlu untuk tetap memperhatikan prinsip ESG (environmental, social, and governance).
Heri Susanto selaku Chief Content Officer & Co-Founder Katadata menerangkan bahwa hasil riset yang dilakukan KIC menunjukkan pembangunan smelter yang gencar dilakukan pemerintah diikuti dengan pembangunan PLTU yang mengutamakan energi dari PLTU Captive sebesar 14,5 GW.
Menurut Heri, kondisi demikian akan mempersulit Indonesia mewujudkan komitmen dan target dalam penurunan emisi pada tahun 2030. Heri menambahkan, KIC memberikan beberapa rekomendasi dalam hal ini.
Pertama, moratorium serta pengendalian investasi smelter nikel. Hal ini dibutuhkan dalam rangka optimalisasi nilai tambah dan efisiensi cadangan nikel Indonesia dengan mengatur supply and demand nikel di pasar global.
Kedua, penggunaan EBT sebagai upaya menekan emisi dalam pengelolaan smelter. Hal ini perlu diupayakan dengan mengganti penggunaan energi batubara menjadi EBT dalam pengelolaan smelter yang perlu dimuat dalam revisi Perpres 112 Tahun 2022.
Ketiga, mendorong investor yang berkomitmen terhadap keberlanjuta. Keempat, mengatasi deforestasi dengan memastikan reklamasi lahan pasca tambang. Dan yang kelima ialah dengan peningkatan hilirisasi nikel menjadi industrialisasi nikel.
Kata Kunci : Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Pemerintahan Prabowo-Gibran akan Dorong Hilirisasi Nikel
10 Jul 2025, 19:17 WIB
03 Jul 2025, 14:31 WIB
Teknologi
30 Mei 2025, 0:30 WIB
Internasional
24 Feb 2025, 0:22 WIB
Liputan Khusus
13 Jan 2025, 15:49 WIB
Minyak dan Gas
12 Jan 2025, 23:31 WIB
Nasional
10 Jan 2025, 19:16 WIB
Ulasan
18 Des 2024, 13:38 WIB
Energi
18 Des 2024, 10:16 WIB
Internasional
16 Des 2024, 12:58 WIB
Nasional
13 Des 2024, 10:28 WIB
Lingkungan
12 Des 2024, 10:49 WIB
Energi
11 Des 2024, 11:12 WIB
Nasional
09 Des 2024, 13:08 WIB
Energi
05 Des 2024, 10:41 WIB
Nasional
04 Des 2024, 10:54 WIB
Nasional
03 Des 2024, 12:23 WIB
Internasional
02 Des 2024, 13:56 WIB
Nasional
26 Nov 2024, 10:29 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 13:23 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 10:11 WIB
Energi
21 Nov 2024, 10:24 WIB