Indonesia diketahui memiliki cadangan bijih bauksit, yang merupakan sumber utama aluminium, 70 hingga 90 juta ton khususnya di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Sumatra Utara.
Sebelum adanya kebijakan hilirisasi, Indonesia mengekspor bauksit dalam bentuk bijih mentah bernilai nilai rendah, sementara pada saat yang sama mengimpor aluminium untuk kebutuhan domestik.
Sejak adanya smelter aluminium, bijih bauksit diolah menjadi alumnia melalui proses Bayer, dan selanjutnya diolah menjadi ingot aluminium melalui elektrolisis Hall-Héroult, meningkatkan nilai tambah hingga 15 kali lipat.
Proses ini menghasilkan dampak ekonomi cukup besar, memperkuat posisi Indonesia di pasar global dan memajukan daerah produsen.
Dengan ekspor produk aluminium mencapai US$900 juta tahun 2024, smelter ini mampu menyumbang devisa negara, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama aluminium global untuk memenuhi permintaan industri aerospace dan otomotif luar negeri.
Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan terkemuka yang mengelola smelter aluminium dengan investasi besar.
Smelter ini menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Sumatra Utara, serta membangun ekosistem industri yang mendukung infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat.
PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum mengoperasikan smelter aluminium pertama di Indonesia pada 1982 di Kuala Tanjung (Sumatra Utara) yang kemudian dimodernisasi berkelanjutan termasuk inisiatif eco-innovation dan ekspansi kapasitas pada tahun 2024.
Smelter ini menghasilkan 250.000 ton ingot aluminium per tahun, menggunakan bahan baku berupa alumina dari impor dan pasokan domestik seperti PT Well Harvest Winning Alumina Refinery.
Produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, antara lain untuk industri kemasan dan otomotif, serta diekspor ke Korea Selatan dan Jepang, menyumbang devisa sekitar US$500 juta pada 2024.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery mengoperasikan refinery di Kendawangan, Kalimantan Barat, sejak 2016 yang merupakan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) pertama dan terbesar di Indonesia dengan investasi awal US$1 miliar.
Smelter ini memiliki kapasitas produksi 1 juta ton alumina per tahun dan ekspansi kapasitas menjadi 2 juta ton alumina per tahun pada 2022 dari bauksit lokal untuk kebutuhan smelter alumunium.
Sebagian produk alumina dari smelter ini diambil Inalum untuk diolah lebih lanjut menjadi aluminium, sedangkan sebagian lagi diekspor ke China, India, Russia dan Jepang, menyumbang sekitar US$400 juta untuk ekspor pada 2024.
Perusahaan lainnya yang terlibat dalam proses hilirisasi bauksit adalah PT Bintan Alumina Indonesia yang mengoperasikan SGA refinery di Bintan, Kepulauan Riau, sejak 2021 dengan investasi sekitar US$600-700 juta, menghasilkan 2 juta ton alumina per tahun setelah fase awal 1 juta ton, dan memasuki trial production fase III pada Mei 2025 untuk ekspansi hingga 3 juta ton.
Produk alumina dari fasilitas ini dipasok ke smelter alumunium domestik milik Inalum, dan sebagian lainnya diekspor ke China dan Eropa, menyumbang US$300 juta pada 2024.
PT Aneka Tambang Tbk (Antam) melalui joint venture dengan Inalum dan PT Borneo Alumina Indonesia (BAI Mempawah) juga sedang mengembangkan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, dengan total investasi mencapai sekitar US$1 miliar, dan diproyeksikan beroperasi penuh pada awal 2026 atau 2027.
Proyek ini ditarget bakal menghasilkan 1 juta ton alumina per tahun dari bauksit lokal yang disupply oleh Antam untuk mendukung smelter aluminium milik Inalum.
Total investasi di smelter aluminium dan refinery mencapai sekitar US$4 miliar hingga 2025, dengan proyeksi tambahan mencapai US$2 miliar hingga 2030.
Proyek hilirisasi bauksit terbukti memilliki manfaat sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Ekspor produk alumina dan aluminium mencapai sekitar US$1 miliar pada 2024, melonjak dari US$400 juta pada 2019, dengan proyeksi meningkat hingga US$600-700 juta pada 2025.
Smelter Inalum menyumbang devisa tak kurang dari US$500 juta, Kendawangan (WHW) US$400 juta, dan Bintan US$300 juta. Selain itu, lebih dari 7.000 lapangan kerja langsung tercipta, dengan puluhan ribu lainnya bekerja di sektor pendukung.
Di Kuala Tanjung, smelter Inalum meningkatkan pendapatan warga melalui gaji pekerja dan pertumbuhan UMKM seperti jasa logistik. Di Kendawangan, refinery WHW mendukung kesejahteraan masyarakat dengan peluang kerja dan infrastruktur yang lebih baik.
Di Bintan, refinery BAI menggerakkan ekonomi lokal melalui UMKM dan pelabuhan yang diperluas. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti Sumatra Utara (sekitar 5,5%), Kalimantan Barat (sekitar 5,2%), dan Kepulauan Riau (5,02%) mencerminkan dampak positif ini.
Smelter aluminium telah menempatkan Indonesia sebagai pemasok strategis di pasar global. Ingot aluminium dari Inalum memenuhi permintaan industri otomotif dan kemasan di Jepang dan Korea Selatan, sementara alumina dari Kendawangan dan Bintan digunakan untuk smelter aluminium di China.
Dengan harga aluminium global naik dari US$1.800 per ton pada 2020 menjadi US$2.600 pada 2025, Indonesia memanfaatkan tren ini untuk meningkatkan devisa semaksimal mungkin.
Produk aluminium juga mendukung proyek transisi energi global yang digunakan dalam kendaraan listrik dan panel surya. Perusahaan seperti Inalum dan Antam memastikan keuntungan tetap berada di dalam negeri untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional.
Prospek smelter aluminium sangat menjanjikan. Rencana ekspansi seperti SGAR Mempawah fase II akan meningkatkan kapasitas nasional hingga 4 juta ton alumina dan 500.000 ton aluminium per tahun pada 2030.
Sementara Inalum berencana memperluas smelter di Kuala Tanjung untuk memproduksi aluminium paduan tinggi memenuhi permintaan industri aerospace di luar negeri dengan menargetkan pasar senilai US$300 juta.
Dilain pihak, Refinery Kendawangan akan terus mendukung ekspor alumina untuk memenuhi permintaan dari fasilitas smelter domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor.
PT Bintan Alumina Indonesia juga merencanakan pembangunan fasilitas elektrolisis untuk aluminium murni, menargetkan pasar Eropa pada 2027. Proyek ini diharapkan akan menciptakan ribuan lapangan kerja baru dan mendorong ekspor produk bernilai tinggi.
Dengan investasi yang terus mengalir dan teknologi canggih seperti elektrolisis rendah karbon, smelter aluminium akan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, dan mengubah cara Indonesia memanfaatkan bauksitnya.
Dari Kuala Tanjung hingga ke Kendawangan dan Bintan, fasilitas ini menghasilkan alumina dan aluminium yang diproyeksikan mampu mendongkrak devisa dan menciptakan sebanyak mungkin peluang kerja baru.
Pertumbuhan UMKM, infrastruktur seperti pelabuhan dan pembangkit listrik, serta kesejahteraan masyarakat menjadi bukti nyata dampak hilirisasi.
Keberadaan smelter aluminium merupakan simbol keberhasilan dalam transformasi industri, mewujudkan visi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang mandiri dan berpengaruh. Dan Indonesia kini bukan lagi dikenal sebagai negara pengekspor bijih bauksit mentah dengan harga murah, melainkan produsen aluminium berkualitas tinggi yang diakui dunia. (*)
Kata Kunci : Smelter aluminium mengolah bijih bauksit menjadi alumnia melalui proses Bayer, dan selanjutnya diolah menjadi ingot aluminium melalui elektrolisis Hall-Héroult, meningkatkan nilai tambah hingga 15 ka
10 Jul 2025, 19:17 WIB
03 Jul 2025, 14:31 WIB
Teknologi
30 Mei 2025, 0:30 WIB
Internasional
24 Feb 2025, 0:22 WIB
Liputan Khusus
13 Jan 2025, 15:49 WIB
Minyak dan Gas
12 Jan 2025, 23:31 WIB
Nasional
10 Jan 2025, 19:16 WIB
Ulasan
18 Des 2024, 13:38 WIB
Energi
18 Des 2024, 10:16 WIB
Internasional
16 Des 2024, 12:58 WIB
Nasional
13 Des 2024, 10:28 WIB
Lingkungan
12 Des 2024, 10:49 WIB
Energi
11 Des 2024, 11:12 WIB
Nasional
09 Des 2024, 13:08 WIB
Energi
05 Des 2024, 10:41 WIB
Nasional
04 Des 2024, 10:54 WIB
Nasional
03 Des 2024, 12:23 WIB
Internasional
02 Des 2024, 13:56 WIB
Nasional
26 Nov 2024, 10:29 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 13:23 WIB
Nasional
25 Nov 2024, 10:11 WIB
Energi
21 Nov 2024, 10:24 WIB